Baca Kitab Kawin oleh Laksmi Pamuntjak ini karena impresi positif dari novelnya yang aku baca sebelumnya: Amba dan berbagai dorongan dari media sosial. Tapi, ternyata emang enggak boleh berekspektasi berlebihan terhadap apapun.
Kitab Kawin memang menawarkan tema yang menggugah, nama besar Laksmi Pamuntjak, dan kemampuannya memilih kata yang sastrawi. Namun, kumpulan cerpen ini enggak masuk kategori must-read-ku.
KITAB KAWIN
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Jumlah halaman: 312 halaman
Genre: Fiksi, dark romance(?)
Tahun terbit: 2021
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Aku beli seharga: 74.700
Rating dari aku 3/5
Trigger warning: LGBT, adegan dewasa, perselingkuhan, pemerkosaan
Sinopsis Buku Kitab Kawin oleh Laksmi Pamuntjak
Kitab Kawin oleh Laksmi Pamuntjak adalah sebuah kumpulan cerpen (kumcer) yang berisi 12 cerita perempuan dalam perkawinan atau hubungan romansa.
Kumcer ini jauh dari kata kebahagiaan saat menikah, malah fokus ke sisi gelap pernikahan — kekerasan, perselingkuhan, penelantaran — dan gimana si perempuan melewatinya atau membangkitkan diri.
Buku ini ada dua edisi:
- Edisi pertama yang berisi 11 cerpen.
- Edisi baru dengan sampul beru dan bonus 1 cerpen (ini yang aku punya).
Resensi Buku Kitab Kawin oleh Laksmi Pamuntjak
Review buku Kitab Kawin ditinjau dari tema, karakter, dan penulisan.
Tema dan Plot
Secara permukaan, tema yang diangkat oleh Kitab Kawin ini kuat dan relevan: pemberdayaan perempuan dalam pernikahan.
Kumcer ini menceritakan kisah perempuan dari berbagai kalangan mulai remaja di sebuah desa sampai seniman Ibu Kota yang dikhianati oleh pernikahan, kehidupan romansa, dan laki-laki.
Ketika kami dewasa, jadilah kami orang-orang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas. Tapi sesungguhnya kami patah. Patah, sebab kami tahu terlalu dini arti kata berpisah. Hal itu menjadikan kami orang-orang yang tak mengharapkan banyak dari hubungan kami dengan siapa pun. Juga tidak mudah mengikat diri pada siapa pun. Karena toh akhirnya ada yang meninggalkan atau ditinggalkan.
Sebagai perempuan, agak kesel ya baca buku ini. Most of the time kaum perempuanlah yang jadi korban dan harus menanggung “dampak”nya — rasa malu dan anak.
Tapi, aku meresa sub tema yang dibawa sangat repetitif: perselingkuhan. Jadi, ketebak cerita-cerita selanjutnya gimana, hanya “metode perselingkuhannya” yang beda meski terkesan mirip-mirip.
It may sound cruel dan unsympathetic nyebut “hanya” di kalimat sebelumnya. Tapi, sebagai pembaca aku mengharapkan plot yang variatif dong, apalagi ini ada 12 cerpen.
Dari 12 cerpen yang ada, yang benar-benar aku suka hanya dua: Kitab #9 Penjara Esmeralda dan Kitab #12 Surat Cinta Menjelang Kawin. Cerita pertama memberikan perspektif karakter “pendosa” yaitu seorang selingkuhan, jadi ada greget kebahagiaan yang bercampur rasa bersalah. Sedangkan, cerita Kitab #12 memakai struktur tulisan surat yang berbeda dari cerpen-cerpen sebelumnya.
Karakter dan Setting
Selama baca buku ini, aku merasa paham intensi penulis menerbitkan buku ini.
Sepertinya dia ingin menjelaskan bahwa perempuan mampu melakukan banyak hal. I feel the sense of empowerment here, apalagi ketika mereka “memberontak” karena terkungkung banyak hal: pilihan keluarga, partner yang enggak bener, dan standar masyarakat (terutama budaya Timur).
Ia juga harus berhenti menyabot dirinya sendiri setiap kali ia merasa bahagia hidup sebagai perempuan yang tak menikah, baik sendirian maupun dengan seseorang. Ia harus belajar mensyukuri situasinya sebagai anugerah yang hanya butuh sedikit pengelolaan, sebab tak banyak yang bisa keluar dari penjara mereka, baik sementara atau selamanya.
Tapi, sekali lagi yang aku rasakan adalah pengulangan. Hampir semua karakternya cerdas, feminis. Terus, kebanyakan juga berasal dari kalangan paruh baya dan industri seni.
Di sinopsis memang disebutkan beberapa profesi dan latar belakang karakter yang berbeda (pekerja toserba, seniman, ibu-ibu borju), dan dari sini aku jadi mengharapkan a complete diversity di tiap-tiap cerpennya. Tapi, kenyataannya cukup banyak karakter yang mirip-mirip.
Aku masih belum tahu karakter-karakter dan cerita-cerita ini fiksi atau nyata, tapi sepertinya latar belakang Laksmi Pamuntjak sangat berpengaruh kuat.
Penulisan
Menurutku, pemilihan kata dan struktur kalimat adalah aspek paling unggul dalam buku Kitab Kawin oleh Laksmi Pamuntjak ini.
Meski menurutku enggak sepuitis Amba, kumcer ini tetap menunjukkan skill penulis dalam berbahasa Indonesia. Banyak banget kutipan yang quotable dan indaaah.
Apa yang diikrarkan oleh hati tak bisa digantikan oleh kertas, Raihan; dan pada hatikulah kuletakkan kekekalan kita.
…ia merasa dirinya terpacang pada masa kecilnya: pada segala kepastian dan ketakpastiannya, pada segala luka yang menolak diobati, serta pada segala harapan yang tumbuh didalamnya.
Namun, dibandingkan sama salah satu kumcer yang aku baca, Muslihat Musang Emas oleh Yusi Avianto Pareanom, Kitab Kawin kurang memberikan variasi pada gaya tulisan, entah dari sudut pandang atau struktur cerpen.
Misal, cerpen di Muslihat Musang Emas ada yang pakai sudut pandang kedua atau dan alur mundur. Sedangkan, variasi paling unik di Kitab Kawin menurutku hanya di Kitab #12 Surat Cinta Menjelang Kawin yang menulis dari dua sudut pandang dari dua karakter utama.
Kesimpulan
Meskipun Kitab Kawin oleh Laksmi Pamuntjak memberikan tema yang kuat berupa pemberdayaan perempuan dan gaya bahasa puitis dari penulis, novel ini menurutku masih kurang di elemen lain, seperti variasi karakter dan struktur cerpen.
Yang kusuka | Yang kurang kusuka |
---|---|
+ tema feminisme | – Sub tema kurang bervariasi, membuat plot mudah ditebak |
+ gaya penulisan puitis | – Karakter repetitif |
Dari penggemar Laksmi Pamuntjak yang cukup kecewa,