“Setelah lulus kuliah mau kerja dimana?” Aku yakin, tidak sedikit yang menjawab ingin bekerja di Jakarta. Karena teman-temanku pun begitu. In fact, minat penduduk dari luar Jakarta buat datang ke kota ini seringkali tinggi, jika tidak dikatakan selalu.
Bahkan, menurut data statistik kependudukan Provinsi DKI Jakarta, rata-rata penduduk yang datang ke provinsi ini masih di atas 10 ribu orang setiap bulannya selama pandemi 2020.
Mereka datang ke Ibukota meski daerah ini termasuk zona merah.
Ada berbagai alasan kenapa orang berbondong-bondong mencari pekerjaan di Jakarta.
- Sanak saudara udah ada yang di sana dan sukses, ikutan ah! Hal ini disebut dengan jaringan sosial.
- Lapangan kerja bervariasi dengan jenjang karir dan gaji yang menjanjikan. A city of hope.
Sebagai orang yang enggak pernah tinggal di Ibukota, cuma main-main doang di Jakarta, who am I to judge mengenai kehidupan di Ibukota, kan?
That’s why aku mengundang dua orang temanku yang bekerja di Jakarta. Sebut saja Athayya dan Ghandari.
Keduanya adalah teman sekolahku dulu yang merupakan lulusan salah satu universitas di provinsi DKI Jakarta. Enggak heran professional history di CV mereka juga melanglang buana dari perusahaan satu ke lainnya di Ibukota.
Saat ini, Athayya dan Ghandari juga bekerja di perusahaan multinasional di Jakarta.
Q: Gimana sih general work life di Jakarta?
Ghandari:
Kalau menurutku, tergantung dari statusnya ya. Magang atau full-time. Kalau magang masih enggak terlalu banyak workload-nya karena masih super entry level. Tapi, kalau full-time beda lagi.
Personally, aku kerja di agency. Sebenarnya, pusat perusahaanku di luar negeri. Yang di sana, hustle culture udah biasa ya. Tapi, kalau yang di cabang Indonesia, suasananya kerjanya mirip series Emily in Paris gitu. Jadi, orang-orangnya agak santai. Pagi, ngopi-ngopi dulu. Terus, baru kerja siang sampai malam. Aku sendiri sih lebih suka on time ya karena aku lebih suka kerja pagi juga.
Karena aku kerja di agency, environment-nya bergantung client banget. Kalau client-nya suka yang hustle gitu, timku juga ikutan.
Q: Lingkungannya kompetitif gitu enggak?
Athayya:
Yes and No.
Jawabannya Yes, karena menurutku semua orang punya passion di hal tertentu atau bidangnya masing-masing, dan mereka bener-bener seriusin itu.
Jadi, kayak kompetitif banget emang, tapi di hal yang berbeda. Kamu jadinya bisa “menamai seseorang.” Misal, “oh si anak lomba”, ” oh si anak MUN”, “oh si aktivis”, gitu.
Kalau job-wise, kompetitif kayaknya unnecessary sih karena kalau di tempat-tempat yang aku kerja itu team-driven culture. Dan, kalau pun enggak kerja tim, yang dikerjain beda. Jadi, enggak ada yang diajak kompetisi gitu wkwkwk.
Tapi one thing, everyone is a hard worker dan it is supported by a highly fast-paced environment.
Jadi, mungkin gara-gara highly fast-paced environment gitu kali ya yang kasih kesan orang-orang dari luar Jakarta kalau di sini kompetitif. Padahal, definisi kompetitif di sini kan enggak gitu. Menurutku, definisi yang bener adalah hard-worker dan high standard setter.
Terus yang jawabannya No adalah kebetulan lingkunganku supportive aja sih. Enggak ada yang namanya ngejatuhin. Jir, drama banget! Isinya kan orang-orang dewasa ya ngapain begitu. Tapi, ini depends ke lingkungan ya sekali lagi. Bisa aja di tempat lain ada yang begitu.
Q: Pernah dapat lingkungan kerja yang toxic enggak sih?
Athayya:
Enggak pernah dapat lingkungan yang toxic sih. Tapi, pasti ada di luar sana.
Ghandari:
Personally aku enggak. Tapi, dulu ada temanku yang merasakan toxic work environment. Jadi, atasannya kayak makan temen gitu. Waktu itu temanku lagi magang, eh yang took credit kakak mentornya bukan dia.
Q: Kalau soal transportasi Jakarta gimana? Kan sering banget ada keluhan tuh.
Athayya:
Macet YES anjir! Apalagi kalau sore wkwkwkwk. Kesel banget, capek buang waktu di jalan. Jadi, aku biasanya sekalian pulang malam sih. Atau kalau enggak biasanya ada yg naik taxi sambil bawa laptop gitu dikerjain di jalan.
Enaknya, kalau di kantor-kantorku dulu commute-nya dapat voucher taxi dari perusahaan gitu. Jadi, kemana-mana naik taxi dan bisa di-charge ke klien.
Ghandari:
Kalau WFH sih beda, ya. Tapi kalau WFO, emang transportasi Jakarta bikin capeeeek banget. Mahal juga. Ada sih ya, KRL dan TransJakarta. Tapi ribet banget dan takes time.
Misalnya kan aku dulu tinggal di pinggiran Jakarta kan, ke pusatnya ini lama banget dan harus berangkat 1.5 jam dari jadwal masuk. Belum lagi kalau drama ketinggalan kereta.
Tapi yang aku suka adalah jalan kaki di Jakarta itu enak banget. Trotoarnya gede dan ada tempat duduknya gitu kan. Jadi, bisa deh bengong-bengong bentar buat istirahat, hehehe.
Q: Kalau liburan di Jakarta kemana sih?
Ghandari:
Ke Mall… Tergantung juga kantornya dimana sih. Kalau niat aku kadang juga pulang aja ke Malang, hehehe.
Athayya:
Kalau pas lunch break ke mall kali ya karena kantor-kantor di Jakarta tuh banyak yang dempetan sama mall. Misal dulu kantorku di One Pacific Place. Itu dempetan sama Pacific Place, lalu kantorku di The Plaza itu dempetan sama Plaza Indonesia.
Kalau pulang kerja or weekend:
- Nongkrong cafe-cafe area Senopati.
- Olahraga di GBK, kadang janjian sama temen kantor mau tanding gitu.
- Main ke “alam”nya Jabodetabek di daerah Bogor atau Puncak dan sekitarnya.
- Kalau crazy rich sih ada juga yang janjian cuti bareng terus ke Bali, Lombok, Malang, or even luar negeri.
Q: Ngomongin soal cari teman. Kadang kan merasa harus ngikutin gaya hidup mereka, apakah harus begitu?
Athayya:
Define dulu “temennya” kayak gimana wkwkwk. Kalau kamu cari temen yang bisa berbagi suka duka hidup di dunia kerja sih menurutku unlikely bakal dapet ya. Soalnya, kalau aku sendiri sih di kantor yau dah kerja, temen sebatas temen kerja. Jadi, aku enggak ada tekanan untuk “ngikutin gaya hidup”nya mereka.
Tapi ya sometimes ada lah ya pasti kejadian ketika lunch bareng gitu abis closing sama klien misalkan. Nah, itu kadang ya fancy makannya. Tapi, itu sesekali jadi it’s okay.
Ada juga kondisi ketika ada acara kantor yang “fancy“, ya enggak apa sih sesekali ikutan “gaya hidup”-nya orang Jakarta. Tapi acara kantor tuh biasanya dibayarin kantor sih jadi ya why not wkwkwk. Dulu acara kantorku beberapa kali ke bar gitu (kan mahal ya) tapi dibayarin atasan, jadi enggak keluar duit.
Ghandari:
Tergantung asal member kantormu sih. Enggak semua perusahaan anggotanya orang Jakarta semua kok. Mungkin kamu bisa mencari orang yang asalnya sama kayak kamu biar bisa “berteman” lebih mudah.
Toh generally kita akan attract orang yang setipe sama kita, kan?
Kalau mau lebih tahu background tiap-tiap orang, biasanya aku lihat juga apa yang mereka bawa. Minum kopi apa, etc.
Tapi, kalau happen ketemu sama orang yang super fancy.. Berdasarkan pengalaman pribadiku memang ada sedikit barrier.
Q: Soal work-life balance, apa betul sampai perlu sacrifice me time, tidur, dan kesehatan gitu kalau bekerja di Jakarta?
Ghandari:
Ini tergantung culture zone dan orang sekitarnya gimana sih. Tergantung atasannya juga. Kan beberapa orang ada yang demanding, ada yang enggak.
Tapi, secara general menurutku enggak bisa benar-benar work-life balance, sih. Kayak yang aku bilang, kita harus berangkat awal karena macet, terutama yang tempat tinggalnya jauh. Begitu juga waktu pulang. Kalau langsung pulang, bakal macet banget soalnya barengan sama orang-orang pulang kerja lainnya.
Biasanya ada yang nyambi olahraga dulu sih sambil nunggu macet. Jadi, beneran store yoga mat gitu di kantor atau lari di GBK.
Athayya:
Yes, emang agak harus sacrifice sih. Ada yang bilang itu pilihan, tapi menurutku setelah 3 kali pindah kantor, itu kayak unavoidable.
Sejauh mana your sacrifice itu baru tergantung ke jenis kerjaan masing-masing. Kalau kerjanya management consultant ya trade-off-nya gede banget karena highly competitive environment, high pressure. BUT of course with highest salary.
Selain transportasi, apa enggak enaknya kerja di Jakarta?
Athayya:
JAUH DARI KELUARGA SIH FIX.
Ghandari:
Apa ya.. Mungkin waktu awal-awal dulu. Secara general, cara ngomong orang Jakarta lebih straightforward ya. Dan, dulu aku agak baper waktu menerima feedback.
Terus, menurutku juga gaji entry-level di Jakarta enggak sebanding sama biaya hidup dan kerja kerasnya.
Soooo.. would you recommend working in Jakarta?
Athayya dan Ghandari: YES!
Ghandari:
Aku suka banget ngelihat orang hectic. Rasanya kayak everyone is going in the same struggle.
Aku juga merekomendasikan berkarir di Jakarta karena pilihannya banyaaak banget. Orang sini juga welcome aja kok sama orang luar daerah, pokoknya punya bekal kemampuan dan bisa mengikuti standar kerja aja.
Tapi, rekomendasi ini juga tergantung sama apakah kamu suka sama fast-paced environment. Kalau enggak ya mungkin Jakarta bukan tempat yang cocok.
Athayya:
Kerja di sini makes me grow as a person. Meningkatkan cara berpikirku juga.
Tapi disclaimer dulu, 3 pengalaman kerjaku itu mungkin belum representative enough alias ada yang belum ke-cover dan mungkin pengalamannya beda dengan orang-orang lain yang bekerja di Jakarta.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, apakah kamu tertarik bekerja di Jakarta? Kudos to Athayya dan Ghandari! Semoga kalian meroket terus!
Dari anak yang belum pernah berkarir di Ibukota,
Comments
3 responses to “Pengalaman Bekerja di Jakarta, Recommended?”
saya lahir dan tumbuh besar di Jakarta. tepatnya di daerah Cilandak, Jaksel. saya sudah pernah merasakan kerja di ruko di grogol, di menara bidakara, di ruko di condet.
akhirnya saya sendiri yang menyerah dan pindah kerja di cikarang sampai akhirnya saya beli rumah disini. menyerah dengan kemacetan ibukota yang tanpa ampun.
Wah, senang mendengar dari penduduk Jakarta langsung. Terima kasih sudah share pengalaman kakak. Semoga lancar terus di tempat tinggal yang sekarang!