Buku Hidup Apa Adanya dari Kim Suhyun ini datang di saat yang tempat. I lost myself karena berusaha melakukan so many things at once. Tapi, soal perasaanku itu kita bahas lain waktu. Mari ngobrolin buku ini aja dulu.
Contents
Mini Resensi Hidup Apa Adanya oleh Kim Suhyun

Foto: Dok. Pribadi
Dengan munculnya hustle culture yang orang selalu mengagung-agungkan kerja 40 jam sehari 🙂 atau membuat hidup kayak balapan dan cepet-cepetan, buku ini ngajari kita buat slow down. Buat lebih peka sama diri sendiri, tanpa mengesampingkan kalau kita hidup bareng sama orang lain.
Jadi bukan kayak yang I dont give a shit sama orang lain dan hidup sebebas-bebasnya. Nope, bukan gitu. Di sini kita diajari buat cari balance yang pas. Bikin batasan-batasan tertentu tapi tetap bisa jadi bagian dari masyarakat.
Teruusss, the thing that I REALLY like about this book adalah penulis enggak hanya kasih wejangan ini itu. Tapi juga didasari dengan teori ini itu dan kenyataan yang udah ia temui: percakapan sama orang sekitar bahkan kehidupan dalam keluarganya.
Isi bukunya
O.K.E. Udah kayak nulis tugas kuliah aja bahasaku, wkwkw. Ada banyaaaaak banget “To-do List” buat hidup apa adanya di buku ini:
- To-do list agar bisa hidup dengan menghormati diri sendiri
- To-do list agar bisa hidup sebagai diriku sendiri
- To-do list agar tidak tenggelam dalam rasa cemas
- To-do list agar bisa hidup bersama dengan yang lainnya
- To-do list untuk dunia yang lebih baik
- To-do list untuk kehidupan yang lebih berarti dan juga lebih baik

To-do List 1-3

To-do List 3-6
isi
Aku enggak akan nulis semuanya dan ngerangkum semua poinnya kayak di Tuesdays with Morrie sama Steal Like An Artist. Soalnya, selain kebanyakan juga, sayang banget kalau aku cuma jelasin poin-poinnya dikit dan kamu langsung mengeneralisasi “Ah, gitu doang?” KARENA BUKU INI MUCH MORE THAN THAT.
Jadi, aku bikin “garis besar” yang menurutku paling cocok sama temanya. Enjoy!
Semua berawal dari diri sendiri
Seklise “kamu lah yang paling paham sama dirimu sendiri”. Tapi..
Aku yakin kamu udah mblenek denger kata-kata ini. But, that’s true. Kita harus tahu prioritas dalam hidup biar bisa say no sama hal-hal yang berlawanan sama diri kita.
Tapi, ada satu yang perlu kamu garis bawahi: TAHU HARGA DIRI KITA.
Inti dari harga diri adalah kepercayaan terhadap diri sendiri sekaligus kehormatan diri yang menganggap bahwa masing-masing pribadi berhak mengejar kebahagiaan
Terus, gimana caranya membentuk harga diri kita? Harga diri terbentuk dari kemantapan diri saat mengatasi masalah dan melindungi diri sendiri, plus punya rasa hormat buat diri sendiri.
Rasa hormat terhadap diri sendiri sulit didapati jika kita hidup bertentangan dengan keyakinan kita sendiri.
So, jangan bergantung sama orang lain saat mengambil keputusan. Lakukan apa yang kamu yakini. Boleh cari nasihat, tapi keputusan tetap ada di tanganmu.
Hapus angka dan standar umum dari kehidupanmu
Angka selalu jadi measurement dalam hidup. Pintar kalau dapat nilai di atas KKM. Kaya kalau gajinya puluhan juta. Cantik kalau berat badan segini atau ukuran dada segitu. “Normal” kalau nikah sebelum umur 30. That’s harsh, but that’s true (in our society).
Tapi, jangan sampai standar yang ada dalam masyarakat ini menentukan standar dirimu.
Yang terpenting dalam hidup itu, menemukan hal-hal yang tidak perlu dinilai dengan angka
Terus, ada standar umum lain yang kayak anak pintar = anak baik. Padahal anak pintar bisa aja sombong dan pelit (enggak baik). Dan, hidup kayak = hidup enak. Padahal hidup kaya juga enggak selalu bahagia. Kalau kata dosen Cultural Studies-ku, “It’s a matter of social construction.“
Caranya hidup bersama manusia lain
Dalam sejarah konfusianisme yang menjadi dasar norma sosial sekarang ini, menerangkan bahwa pribadi dan lingkungan sekitarnya memiliki hubungan saling ketergantungan.
Makanya, kebanyakan dari kita hanya menjalani “intruksi” masyarakat gitu. Kayak… kenapa kamu pengin kerja di perusahaan besar? Karena kamu “diajari” kalau perusahaan macam gitu bagus dan “menjamin”. Akhirnya, kamu meraih “pengakuan sosial” dan posisi yang tinggi dalam masyarakat.
Kalau udah mengakar paham kayak gini, gimana kamu bisa menjalani cara hidup apa adanya dan jadi diri sendiri?
- Enggak terlalu sensitif dengan reaksi masyarakat dan jangan jadikan pandangan sosial sebagai tujuan hidup.
- Jadilah “individualis yang bertoleransi”, artinya tetap pikirin diri sendiri tapi punya dasar sopan santun.
- Jangan terlalu kepo sama urusan orang
- Jangan jadikan hidup sebagai kompetisi
Rumus bahagia dan menjalani hidup yang lebih baik
Jangan jadikan kebahagiaan sebagai tujuan
Nah, ini.
Sayangnya, manusia bukanlah makhluk yang dilahirkan untuk bahagia. Pada hakikatnya manusia memiliki enam jenis perasaan yang terdiri dari gembira, marah, benci, takut, sedih, dan kaget.
Wajarlah kita mengalami sedih dan enggak melulu bahagia. Emangnya kehidupan adalah social media? Wkwkw. Jangan terobsesi sama kebahagiaan. Sedih, marah, benci juga enggak apa.
Walaupun toilet ditiadakan agar Taman Versailles tetap terlihat cantik, yang namanya hidup, mau tidak mau tetap harus buang air.
Berusaha lebih sensitif sama diri sendiri
Sadari kebahagian-kebahagiaan kecil di sekelilingmu. Carilah hal yang membuatmu bahagia dan bikin definisi bahagiamu sendiri.
Atur kebahagiaanmu SENDIRI
Jika, tali pusar sudah terpotong maka yang tersambung kemudian adalah tali uang. Betul.
WKWKWKW Ngakak. Once kita jadi anggota penduduk bumi, orang tua kita mikirin mulai dari gimana anak ini dikasih makan sampai biaya pendidikan tinggi. Dan hal itu, bikin kita merasa “utang”. Dan, jelas sekali bayar uang tidaklah mudah. Betul, sobat?
Nah, solusinya? Jangan menyalahkan diri sendiri kalau ada kekurangan dalam “melunasi” utang budi. That’s it. Mau yang lebih solutif? Baca bukunya aja, hehe.
Teruuus, pernah dengar enggak: “Aku akan bahagia kalau kamu bahagia” Selain bullshit, kalimat itu juga enggak sehat. Kenapa harus orang lain bahagia dulu baru kamu bahagia? Hidupmu bakal diselimuti rasa khawatir seseorang lagi bahagia apa enggak.
Kalau pernyataan itu ada di antara orang tua sama anak (orang tua akan bahagia kalau anaknya bahagia), anak jadi merasa “tertekan” untuk bahagia biar orang tuanya bahagia.
I highly recommend you read this book. Kalau sugestiku masih kurang, buku ini pernah dibaca sama Jungkook BTS, lho! Aku enggak baca buku ini karena dia, kok. Diriku bahkan waktu itu enggak tau. Terlanjur jatuh cinta sama sinopsisnya, Bund!
Dari yang selama ini seringkali hidup ada apanya,